Kamis, 13 Agustus 2009

Artikel Transit Oriented Development

APABILA penduduk Jabotabek, suatu saat pulang kampung dan ditanya kerabatnya, "Di mana tinggalnya?" Maka dengan cepat akan menjawab "Di Jakarta". Padahal di kartu identitasnya (KTP), dia tercantum alamat entah di Bogor, Tangerang atau Bekasi. Ilustrasi itu menunjukkan, meskipun secara administratif DKI Jakarta terpisah dengan kota satelitnya, tetapi kenyataannya kegiatan kota-kota itu sudah menyatu.Di mana Anda tinggal, bekerja dan berbelanja? Berapa lama waktu perjalanan, serta seberapa susah dan tersiksanya berada di perjalanan, di kereta api, bus, mikrolet atau bahkan taksi dan mobil pribadi dengan sopir sekalipun. Berapa ribu jam kerja per orang yang dihabiskan dan terbuang pada penduduk penglaju setiap hari? Berapa ratus juta rupiah per hari kerugian kota tersebut, bila ditambah dengan pemborosan energi, polusi, kesehatan, stres dan masalah lain yang mengikutinya?Metropolitan Jakarta bersama kota satelitnya, sudah menjadi megapolitan dengan masalah yang sangat kompleks. Salah satunya, soal transportasi yang berkaitan dengan perpindahan penduduk harian atau penglaju. Banyak penduduk yang tinggal di luar Jakarta, namun bekerja, bersekolah atau belanja di Jakarta. Waktu perjalanan mereka mencapai 4-5 jam per hari. Hal ini menimbulkan beban transportasi yang tidak ringan, sedangkan kendaraan, angkutan umum dan jaringan jalan sangatlah terbatas.Pola perjalanan dan tingal jauh di luar Jakarta, tentunya bukan pilihan utama. Masa sekarang ini dengan penghasilan di atas angka Rp 1,5 juta per bulan pun, akan sangat sulit membeli atau mengkredit rumah di tengah Kota Jakarta. Selain itu, struktur Megapolitan Jabotabek telah membentuk ketergantungan dan keterikatan erat.Semakin banyak fasilitas di luar hunian dibangun di Jakarta, seperti pusat perkantoran, perbelanjaan, perdagangan, rekreasi, bisnis. Sementara fasilitas perumahan seperti apartemen dan real estat yang dibangun di tengah kota, hanya dapat dijangkau kaum berpenghasilan sangat tinggi. Maka pilihan tinggal di luar kota itu realistis, sesuai dengan kemampuan.Apakah penduduk penglaju itu dapat hidup nyaman, serta waktu istirahat cukup hingga dapat bekerja produktif dan optimal? Salah satu penyelesaian masalah itu, ditawarkan Peter Calthorpe dengan konsep Transit Oriented Development atau TOD pada tahun 1993. TOD sebagai kawasan komunitas campuran, di sekitar lokasi transit stasiun, meliputi perumahan, pertokoan, pasar, fasilitas olahraga, kantor, ruang terbuka dan fasilitas publik.***KONSEP macam ini sebenarnya sudah tumbuh di Jabotabek dengan moda kereta api listrik (KRL). Kawasan sekitar stasiun berkembang pesat menjadi permukiman kelas menengah yang nyaman, tenang, bebas polusi dan macet. Pola TOD macam ini misalnya terlihat di sekitar Stasiun Depok, Citayam, Bojonggede dan Cilebut. Banyak penduduknya datang dan menitipkan sepeda, sepeda motor atau bahkan mobil di stasiun, kemudian melanjutkan perjalannya dengan KRL ke Manggarai, Gambir sampai Kota.Penduduk berpola TOD ini berhemat biaya, juga sangat mengurangi beban transportasi jalan raya dan kemacetan. Meski kondisi KRL jauh dari layak, berkapasitas terbatas dengan penumpang berjubel dan bergelantungan di luar pintu luar, serta banyak ancaman copet dan penjambret.Makanya, PT Kereta Api Indonesia di hari Rabu awal Juli 2000 lalu, mengadakan survei untuk mencari indikator bagi jadwal baru dan susunan gerbong, sesuai banyaknya perjalanan penglaju, sehingga penumpang KRL dapat terlayani nyaman. Sebab, untuk masa datang mungkin saja KRL menjadi pilihan utama perjalanan.Jadi, apabila tinggal di megapolitan dan memilih rumah di luar kota, jadikan pola TOD sebagai salah satu pilihan. Jadikan KRL sebagai pilihan alternatif perjalanan, meski sudah punya mobil. Dengan demikian waktu perjalanan lebih singkat, juga dapat menambah jam istirahat di KRL. Juga sambil pulang kerja, bisa mampir belanja di Manggadua, Menteng, Pasarminggu atau Depok.Lagi pula, biaya langganan transportasi KRL pun sangat murah, cuma Rp 14.000 per bulan. Makanya, PT Kereta Api Indonesia, cepatlah realisasikan hasil surveinya.(Sapto Nugroho, arsitek dan PNS pada Dinas Perumahan DKI Jakarta)Sumber http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0008/16/metro/peng18.htm
di 13:02
Label:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar