Kamis, 13 Agustus 2009

Artikel Waterfront City



PERNAHKAH Anda membayangkan berdiam di rumah kebun bergaya tropis yang teduh dan berpanorama alami, teras menghadap tepi sungai, danau atau pantai? Anda bisa bermain bersama keluarga di lereng yang berumput lembut, memancing di hari libur, bersepeda sepanjang tepi sungai, menikmati sunset atau bahkan berperahu.Impian tinggal dengan gaya seperti ini kini hanya mungkin dilakukan di kawasan artificial (buatan), bukan lagi di lingkungan alami. Sekarang ini seperti memancing pun dilakukan di kolam pemancingan sewa dan apabila mendapat ikan, kita harus membayar pemilik kolam sejumlah berat ikan yang terpancing.Di lain pihak apakah Anda menyadari bahwa begitu banyak sungai, danau, situ, dan pantai, yang berada di sekitar kita. Kita tidak menyadari potensi alam yang asri ini karena sungai kebanyakan telah kita jadikan bagian belakang rumah sebagai lingkungan kotor yang ditutupi. Sungai sebagai tempat sampah, polutan, dan kotoran.Tahukan Anda, Jakarta saja dialiri 13 sungai, belum lagi terhitung situ, kanal, dan bendungan yang tersebar di berbagai tempat. Banyak juga kota lain yang dilalui sungai atau berada ditepi laut seperti Semarang, Makassar, Surabaya, dan kota tepi sungai Palembang.Catatan sejarah pun menunjukkan, nenek moyang kita telah lama melakukan kehidupan water culture (kehidupan berorientasi air), perairan sebagai front-side. Water culture ini menjadikan pertumbuhan ibukota provinsi di kepulauan Indonesia sebagian besar berada di tepi sungai atau laut. Mereka menyebarkan agama, berdagang, berlalu lintas, membentuk pasar, kota dan bahkan kerajaan melalui perairan. Sumber kehidupan dan aktivitas mereka sebagian besar berorientasi perairan.Namun, kini kita menjalani pola kehidupan yang sama sekali berkebalikan, kita hidup dengan land culture perairan dijadikan sebagai back-side. Orientasi terhadap kehidupan berubah total dari air ke daratan serta diikuti perilaku yang berubah pula.Hampir seluruh bagian depan bangunan-rumah, toko , kantor membelakangi sungai hanya untuk mendapatkan kemudahan akses dari jalan. Kita melupakan situ, danau, dan tak pernah menengok kali. Akibatnya kita menjadikan potensi alam yang sebenarnya indah menjadi dumping area. Sungai di Indonesia mungkin dapat disebut sebagai the longest toilet in the world. Sungai menjadi sumber polusi yang tak tertangani penyelesaiannya. So dark and so smell with our river.Banyak masalah sosial, ekosistem dan fisik ditimbulkan oleh land culture ini. Ekosistem perairan banyak yang rusak. Oleh karena itu, akhir-akhir ini dikemukakan konsep baru pembangunan perkotaan yaitu Waterfront Cities, pengembangan kawasan yang berorientasi ke perairan. Kehidupan dengan paradigma water culture dimulai lagi. Perairan sebagai orientasi dan pusat pengembangan kawasan.Berkaitan dengan water culture dan pengembangan waterfront city ini maka baru-baru ini diselenggarakan Regional Seminar, Rebirth, Reorientation & Revitalization of Waterfront Cities di Hotel Horizon Ancol, Jakarta. Dalam seminar ini terungkap banyak potensi dan juga persoalan yang berkaitan dengan persiapan dan pengembangan waterfront cities.Meski demikian banyak negara sukses mengembangkan waterfront city seperti di Darling Harbor (Sydney), Inner Harbor (Baltimore), Clark & Boat Quay (Singapura), serta Kop van Zuid (Rotterdam). Pengembangan waterfront city pun telah dilakukan di Indonesia di antaranya di Kawasan Code di Yogyakarta, Kawasan Sunda Kelapa di Jakarta, Samarinda serta kawasan Mojosongo di tepian Kali Pepe Surakarta.Di DKI Jakarta, konsep waterfront cities berdasarkan paradigma water culture telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta dan Perda No 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010. Di dalam RTRW disebut, Kawasan Reklamasi Pantura meliputi area seluas lebih kurang 2.700 hektar.Kawasan reklamasi sebagai kawasan prioritas arahan pengembangan. Intensitas Ruang kawasan ini pun sangat tinggi. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) diarahkan mencapai 5 hingga 10 dengan ketinggian 97 lantai. Intensitas dan prioritas Kawasan Reklamasi Pantura setara dengan Kawasan Bandar Baru Kemayoran dan Kawasan Bisnis Semanggi.Jika kota-kota di luar negeri sukses dengan waterfront city-nya dan di Jakarta pun water culture telah dituangkan dalam perda, mengapa tidak kita meninggalkan land culture, hingga dapat menikmati waterfront city. Lingkungan perairan yang kita jaga dan rawat akan memberikan sumber daya lebih yang berlimpah sepanjang masa. Dalam waterfront city, kita harus siap dengan kehidupan water culture seperti menjaga kelestarian sungai, tidak membuang segala sampah dan tidak menangkap ikan dengan setrum atau bom.Sudahkah kita bersahabat dengan lingkungan alam yang mampu memberikan manfaat berlebih? Sudah siapkah kita memancing gurame di sungai depan rumah untuk lauk makan malam di akhir pekan? Sudah siapkah kita memperistri alam perairan, sungai, danau dan laut yang dilahirkan dari bumi pertiwi yang cantik?* Sapto Nugroho, arsitek, pengamat kota.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar